Rhy.. ? teriak Dina memanggilku.
Akupun menoleh “Hey, Dimas mana kok tumben gak bareng?” tanyaku pada Dina.
“Iya nih, aku tungguin dia tadi tapi gak nongol-nongol, ya udah aku duluan aja jalan”
“Rhy.. ? Din.. ?” teriak Dimas dari belakang.
“Eh tuh dia si curut baru nongol” ejek Dina.
“Eh, apa’an sih, jangan panggil aku curut. kebo, Hahaha..” Ejek Dimas membalas ejekan Dina.
“Iiihh.. kamu juga jangan panggil aku kebo, aku juga gak gendut-gendut amat kok”Akupun menoleh “Hey, Dimas mana kok tumben gak bareng?” tanyaku pada Dina.
“Iya nih, aku tungguin dia tadi tapi gak nongol-nongol, ya udah aku duluan aja jalan”
“Rhy.. ? Din.. ?” teriak Dimas dari belakang.
“Eh tuh dia si curut baru nongol” ejek Dina.
“Eh, apa’an sih, jangan panggil aku curut. kebo, Hahaha..” Ejek Dimas membalas ejekan Dina.
“Iya gak gendut tapi melebar.. hahaha” Dina memukul pundak Dimas dan mereka saling kejar-kejaran dan saling ejek, mereka sangat akrab, jujur aku cemburu melihat mereka berdua, tapi aku rasa Dimas suka sama Dina. Tiba-tiba kepala ku pusing, hidungku mengeluarkan darah, ya aku mimisan lagi. Aku segera menutup hidungku dengan sapu tangan. Dina pun melihat reaksi ku pada saat itu.
“Eh, lihat Rhy kenapa tuh?” sambil menyenggol pundak Dimas.
Mereka berdua berlari mendekatiku. “Rhy, kamu kenapa?” tanya Dina padaku.
“Gak papa kok”
“kenapa kamu pake sapu tangan gitu?”
“Gapapa, aku duluan” Aku berlari meninggalkan mereka berdua dengan tetap menutup hidungku dengan sapu tangan.
Sesampainya dirumah, aku membuka sapu tangan yang terus aku pegang untuk menutup hidungku. Aku sangat kaget, darahnya banyak banget, tanganku gemetar, aku sudah pasrah dengan keadaanku saat ini.
“Non.. ? ?” Bi’ Nah memanggilku.
“iya bik.. ?”
“Ayok makan siang dulu, ini Bibik udah siapin makanan kesukaan Non.”
“Iya bik, Rhy mau mandi dulu.” Dan aku segera menuju kamar mandi, aku melihat diriku sendiri di cermin kamar mandi, darah dari hidungku terus keluar, aku sudah mencoba untuk menghentikannya dengan tisu, tapi darah nya tetap gak bisa berhenti.
“Iih,, kok gak bisa mampet sih?” aku mulai resah dan aku hanya bisa menangis pada saat itu tangan ku terus bergetar sambil membersihkan darah dihidungku. Seragam putih abu-abu ku sudah berlumuran darah, dan kepalaku mulai pusing, pandanganku sudah memudar. Dan akhirnya aku pingsan. Bi’Nah mulai curiga, kenapa gak ada suara air dikamar mandi? Katanya tadi Non Rhy mau mandi.. Non? Tok tok tok.. Bi’Nah mengetuk pintu kamar mandi, untung saja waktu itu kamar mandi tidak aku kunci. Bi’Nah melihat aku sudah tergeletak dikamar mandi dengan darah yang berlumuran di hidungku.
Aku mencoba membuka mataku yang sangat berat untuk ku buka pandangan sekitarku masih buram, kepala ku masih pusing dan aku melihat banyak selang infus di sekitar tubuhku.
“Non, sudah sadar.. “ ucap Bi’ Nah.
“Bik…?” ucapku dengan suara lemas dengan tetesan air mata.
“Mama sama Ayah mana?”
“Mama sama Ayah Rhy ga bisa dateng, tapi sudah Bi’Nah telpon tadi katanya masih ada metting penting di luar negeri”
“Aku hanya menghela nafas panjang” Itulah orang tuaku hanya mementingkan pekerjaannya, aku hanya disayang dengan materi, tapi aku sangat ingin disayang dengan kasih sayang dan perhatian mereka, tapi kapan?
Selama dua hari aku menjalani rawat inap, aku sudah bosan, aku ingin sekolah, aku kangen sama temen-temen, aku juga kangen sama Dimas. Padahal waktu itu aku belum di bolehkan pulang karena keadaanku masih sangat lemah.
Paginya aku sekolah dengan wajah yang sangat pucat, aku mencoba tersenyum untuk menutupi rasa sakit yang aku derita saat ini, tapi senyumku tak berlangsung lama saat melihat Dina dan Dimas berduaan di taman sekolah, hatiku sangat sakit tapi aku harus berkata apa kalau kenyataannya Dimas lebih suka sama Dina bukan sama aku, gak ada untungnya juga kalau Dimas suka sama aku toh bentar lagi aku bakalan mati, tapi aku sayang Dimas, aku cinta dia, Tuhan…. Tak terasa butiran-butiran bening mulai menetes satu persatu di pipiku.
“Rhy.. sini?” panggil Dina
Aku segera menghampiri mereka dengan mengusap air mata yang sudah terlanjur membasahi wajahku.
“Rhy, kamu kenapa kemarin gak masuk, terus kamu kenapa nangis?”
“Aku gakpapa kok tadi cuma kelilipan aja, kemarin aku pergi ke rumah tanteku” terpaksa aku harus berbohong agar meraka gak tau tentang penyakitku, dan aku kembali tersenyum dengan senyum paksaan.
“Oo.. pantesan rumahmu sepi, kemarin kita berdua dateng kerumahmu lho..” sambung Dimas.
Aku hanya tersenyum, dan tanpa aku sengaja mataku melihat sebuah rangkaian bunga di samping tempat duduknya Dimas.
“Pasti Dimas mau nembak Dina, kenapa harus Dina? Kenapa bukan aku?” ucapku dalam hati dengan mengepalkan kedua tangan dan mataku mulai berkaca-kaca hatiku sungguh sakit, air mataku sudah tak dapat aku bendung lagi dan aku langsung berlari meninggalkan mereka berdua.
“Rhy.. ? kamu mau kemana?” teriak Dimas.
“Rhy, kamu kenapa?” teriak Dina dan mencoba mengejarku, tapi aku lebih mempercepat langkahku.
Aku memasuki toilet sekolah, aku terus menangis rasa sakitku semua sudah lengkap, Dina temanku Dimas juga temanku, tapi aku suka Dimas, apakah aku gak boleh mendapat kebahagiaan untuk yang terakhir kalinya? Apa aku harus terus menderita? Gak ada yang sayang aku, termasuk orang tuaku. Aku benci semuanyaaaaaa….. Aaaarrgghhh!!!”. Teriakku dalam hati, dan saat aku akan keluar dari toilet. Tiba-tiba, Brug! aku menabrak Dimas yang ada didepanku, entah dia ngapain berdiri di depan pintu toilet wanita. Aku hanya menatap matanya dengan mataku yang memerah dan penuh dengan air mata, aku menatapnya dengan penuh penyesalan. “Kenapa aku kenal Dimas? Kenapa aku harus suka sama dia?” Keluhku dalam hati.
Aku segera memalingkan wajahku dan berlari dari hadapan Dimas.
“Rhy…???” Teriak Dimas memanggilku. Tapi aku tak menghiraukannya, untuk apa aku menghiraukan orang yang tak menghiraukanku, sakit hati ini masih tersimpan, dan kepalaku mulai pusing lagi pandangan sekitarku mulai memudar, aku menghentikan langkahku dan aku hanya bisa meraba-raba dinding untuk mencegah tubuhku untuk jatuh. “Rhy.. ? ? ? teriak Dimas khawatir melihat tubuhku yang sudah tergeletak di lorong sekolah.
Saat aku membuka mata ternyata aku sudah ada dirumah sakit. “Aaww..” Kepalaku terasa sangat sakit, dan secara spontan tanganku memegang kepala yang terasa sangat sakit. “Rhy sudah sadar?” Ucap Dimas kepadaku yang tumben pada saat itu Dina tak ikut berada disitu menjengukku. “Dimas?” Ucapku heran.
“Rhy, kenapa kamu gak cerita kalau kamu sakit Kanker otak Stadium 3? Atau kamu sudah gak percaya sama aku sebagai sahabatmu?”
Deg! Aku sungguh kaget saat mendengarkan ucapan Dimas. Sahabat? Aku hanya bisa tersenyum lemas pada Dimas dan memalingkan wajaku menatap jendela. Hatiku sangat sakit. “Rhy? Kenapa kamu nangis?”. Aku kembali menatap Dimas dengan wajah pucatku dan aku merendahkan pandanganku kearah tangan Dimas yang memegang rangkaian bunga persis yang aku lihat di sekolah tadi. “ Ah, itu pasti bunga untuk jenguk aku karena aku sakit, tapi kenapa bunga itu sama dengan yang tadi pagi aku lihat? Apa Dimas gak jadi nembak Dina? Ah, gak mungkin.” Tanyaku dalam hati.
“Rhy… aku sayang sama kamu” ucap Dimas dengan mengelus rambutku dan mencium keningku.
Aku hanya mengerutkan alis, heran dengan ucapan dan sikap yang Dimas lakukan padaku.
“Rhy.. aku tau kamu pasti mikir kalau aku suka sama Dina kan? Tapi kamu salah, aku suka sama kamu Rhy” Ucap Dimas dengan tatapan mata serius.
Hatiku saat itu sangat senang saat mendengar ucapan Dimas, akupun mulai memperlihatkan senyum manis ku pada Dimas.
“Bunga ini untuk kamu, kamu mau kan jadi pacarku?” Jelas Dimas dengan senyum.
Akupun menganggukan kepala ku menjawab pertanyaan Dimas yang berarti “Ya aku mau jadi pacarmu” Sungguh hatiku pada saat itu sangat senang, mungkin itu adalah hari terakhir kebahagiaanku yang akan aku alami sekali seumur hidupku.
Dimaspun memelukku, perasaan ku pada waktu itu tidak bisa ku bendung lagi aku sangat bahagia Tuhan…
“Kamu yang kuat ya sayang, kamu pasti sembuh”
Aku menganggukan kepala dengan senyum bahagia, dan aku menunjuk tasku, dan Dimas segera mengambilkannya untukku, aku mengambil sepucuk surat dan memberikannya pada Dimas.
“Surat apa ini sayang?” tanya Dimas padaku.
Tapi aku hanya tersenyum dan aku terus menatap mata Dimas. Dimas pun membaca surat yang aku berikan.
“Teruntuk orang tersayang : Dimas”
Makasih sudah memberikan kebahagiaan padaku walaupun itu hanya sejenak, dulu tak pernah ku temukan damai di hatiku, tapi semenjak dirimu hadir, hati aku merasa Tuhan telah mengirimkan seorang malaikat untuk menebus dukaku selama ini, kisah cinta kita mungkin tak pernah berjalan mulus, tapi percayalah sayang bahwa cinta kita abadi, tanpa terbatas ruang dan waktu. Mataku selalu melihat indahnya dunia akan tertutup, aku berharap saat itu ada seseorang yang aku nanti yaitu kamu Dimas, walaupun hubungan kita sangat singkat tapi aku tetap mencintaimu. Dan kini tiba saatnya aku pergi, hapuslah air matamu meski aku tak akan pernah kembali. Biarkan jiwaku tenang berlalu. tapi cinta kita akan abadi selamanya, jangan patahkan sayap yang telah kau kembangkan di hatiku”
Makasih sudah memberikan kebahagiaan padaku walaupun itu hanya sejenak, dulu tak pernah ku temukan damai di hatiku, tapi semenjak dirimu hadir, hati aku merasa Tuhan telah mengirimkan seorang malaikat untuk menebus dukaku selama ini, kisah cinta kita mungkin tak pernah berjalan mulus, tapi percayalah sayang bahwa cinta kita abadi, tanpa terbatas ruang dan waktu. Mataku selalu melihat indahnya dunia akan tertutup, aku berharap saat itu ada seseorang yang aku nanti yaitu kamu Dimas, walaupun hubungan kita sangat singkat tapi aku tetap mencintaimu. Dan kini tiba saatnya aku pergi, hapuslah air matamu meski aku tak akan pernah kembali. Biarkan jiwaku tenang berlalu. tapi cinta kita akan abadi selamanya, jangan patahkan sayap yang telah kau kembangkan di hatiku”
With Love
Rhy
Rhy
Tiiiiiiiiiiiiitttttttttttt……..!!! Jantung ku telah berhenti berdetak.
dan secara perlahan mataku tertutup dengan masih dihiasi senyum di bibirku.
“Rhy.. ? ? Teriak Dimas memanggilku untuk kembali tapi ini sudah kehendak Tuhan yang tak dapat di cegah oleh siapapun aku tercipta oleh Nya dan aku kembali pada Nya.
Dokter datang dan menyatakan kepada Dimas bahwa aku sudah meninggal.
“Gak mungkin dok baru 10 menit aku resmi pacaran dengan dia dok!, gak mungkin… gak mungkiiiiiinnnn…!!!” Dimas hanya tertunduk lemas menangisi kepergianku yang tak akan mungkin kembali lagi.
dan secara perlahan mataku tertutup dengan masih dihiasi senyum di bibirku.
“Rhy.. ? ? Teriak Dimas memanggilku untuk kembali tapi ini sudah kehendak Tuhan yang tak dapat di cegah oleh siapapun aku tercipta oleh Nya dan aku kembali pada Nya.
Dokter datang dan menyatakan kepada Dimas bahwa aku sudah meninggal.
“Gak mungkin dok baru 10 menit aku resmi pacaran dengan dia dok!, gak mungkin… gak mungkiiiiiinnnn…!!!” Dimas hanya tertunduk lemas menangisi kepergianku yang tak akan mungkin kembali lagi.
